Kupang, NTT
Para nelayan dan pedagang di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Oeba, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan tegas menolak Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur (Pergub NTT) Nomor 33 Tahun 2025 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Daerah.
Penolakan yang ditandai dengan penandatanganan petisi oleh para nelayan dan pedagang di Pasar Ikan Oeba, Minggu, (28/9/2025) itu akibat biaya sewa lapak yang naik drastis.
Para nelayan menilai, kenaikan tarif sewa lapak untuk mengejar peningkatan PAD, namun mengorbankan rakyat kecil yang mencari nafkan di pasar ikan.
Menurut para pedagang, lonjakan tarif retribusi hingga 300 persen dalam kurun waktu kurang dari setahun adalah tindakan kedikaberpihakan pemerintah kepada rakyat.
“Belum satu tahun sejak 2024-2025, sudah alami beberapa kenaikan retribusi, dan kini sampai 300 persen. Ini sangat mencekik sebab sangat memberatkan kami sebagai pedagang dan nelayan,” ungkap Koordinator Pedagang dan Nelayan TPI Oeba, Habel Missa.
Penyesuaian tarif ini tidak hanya berdampak pada pedagang dan nelayan, tetapi juga industri pengolahan ikan di kawasan TPI Oeba.
Senada, Fransisko Meo, Sekretaris DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi NTT, mengatakan bahwa industri perikanan juga terkena imbas kebijakan ini. Selain tarif retribusi daerah yang naik drastis, perusahaan juga dibebani kewajiban surat keterangan pasokan ikan yang sebelumnya 2 persen dari nilai pasokan, kini menjadi 5 persen.
“Perusahaan pun harus membayar pajak tambahan saat pengiriman ikan. Ini membuat biaya operasional naik signifikan,” kata Fransisko.
Ia menilai, jika Pergub No. 33 Tahun 2025 tidak dikaji ulang, dampaknya akan meluas hingga ke masyarakat umum melalui kenaikan harga ikan di pasar.
Hal ini dinilai bertentangan dengan program pemerintah dalam mendorong konsumsi ikan melalui Gerakan Masyarakat Makan Ikan (Gemarikan).
Peryataan Sikap Nelayan
Para pedagang dan nelayan TPI Oeba menyampaikan tuntutan beberapa point pernyataan sikap kepada Pemerintah Provinsi NTT yakni :
- Menolak diberlakukannya Pergub No. 33 Tahun 2025;
- Meminta pemerintah tetap memberlakukan tarif lama; mereka masih dapat menerima jika kenaikan hanya 100 persen;
- Mendukung peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun tidak dengan cara membebani rakyat kecil;
- Meminta Gubernur NTT membuka ruang dialog dengan nelayan dan pedagang.
- Mendesak Gubernur NTT mencopot Kepala Dinas Perikanan dari jabatannya karena tidak berpihak pada rakyat kecil.
Habel juga menyoroti kondisi nelayan yang tidak melaut sepanjang tahun karena faktor cuaca ekstrem seperti angin timur dan barat. “Kami hanya bisa melaut delapan bulan dalam setahun. Empat bulan sisanya kami tidak bisa beraktivitas. Lalu dari mana kami harus membayar retribusi yang terus naik ini?” keluhnya.
Selain Habel Missa dan Fransisko Meo, hadir pula dalam pertemuan tersebut Ketua HNSI Kota Kupang Maxi Ndun, pengusaha nelayan Jabir Marola, dan Sekretaris Koordinator Pedagang dan Nelayan TPI Oeba Habel Mangngi Lomi, serta puluhan pedagang dan nelayan lainnya.
Para pelaku usaha perikanan berharap Gubernur NTT segera merespons tuntutan ini dan membuka dialog bersama sebelum terjadi gejolak sosial yang lebih luas.
Selain menggaungkan pernyataan sikap menolak Pergub 33 tahun 2025, para nelayan bersepakat untuk melakukan aksi unjuk rasa besar – besaran.
Aksi protes para nelayan dan pedagang terhadap kebijakan Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena ini dihadiri dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kupang yaitu Jabir Marola dan Mokrianus Lay.
Selain itu, hadir juga Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) Kota Kupang Maxi Ndun, Koordinator Pedagang dan Nelayan TPI Oeba Habel Missa, Sekretaris DPD HSNI NTT Fransisko Meo, dan Sekretaris Pedagang dan Nelayan TPI Oeba Habel Mangi Lomi.